Selasa, Februari 05, 2008

Tangan Lebih Kotor daripada Kepala

Sore ini aku bersama beberapa orang karyawan kampus tempatku bekerja "melarikan diri" dari suntuknya tempat kerja kami. Tujuan awalnya hanya transfer uang dari ATM-ku untuk bayar kuliah semester pendek teman kerja. Janjinya dianterin naik mobil. Ternyata yang bersangkutan ngajak beberapa orang karyawan lagi, total yang ngikut lima orang. Tapi legal kok, wong diluar jam kerja. Singkat cerita, kami berlima akhirnya jalan2 dengan alasan menghilangkan penat.

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami mampir sebentar untuk sholat Ashar di Masjid Al-Falah. Padahal lokasi kampusku sekitar satu sampe' dua kilometeran dari masjid Al-Falah. Sedangkan ATM terdekat malah sekitar beberapa ratus meter dari kampus. Jadilah sekalian puter2 Surabaya.

Kembali ke Al-Falah, pas sholat kuperhatikan karpet abu-abu yang menutupi lantai masjid (ketauan tuh sholatnya gak khusyu'!^_^). Ada semacam garis kabur (blur) tapi tegas memanjang diantara batas shaf yang pas dengan posisi tangan ketika sujud. Kesanku pertama itu adalah debu yang menempel di tangan jamaah sholat. Waktu aku perhatikan tempat kepala menempel waktu sujud, tidak sekotor tempat tangan menempel.
***

Suatu ketika ada seorang mahasiswa moro (mendatangi) aku, dia minta tolong ngopikan data dari server ke flashdisknya. Kebetulan di lab komputer bawah memang hanya laptop depan untuk assisten lab saja yang bisa ditancepin flashdisk. Kondisi emosiku waktu itu gak terlalu mendukung untuk sabar dan telaten. Menanggapi permintaannya yang menurutku berlebihan dan disertai dengan rengekan2 manja, aku secara tidak sengaja menegurnya. Menurutku teguran itu tidak keras, mungkin ekspresi wajahku saja yang berlebihan, sehingga dia nangkepnya aku bentak dia.

Langsunglah dia dan temannya "laporan" ke Ya2ngku yang juga kebetulan satu kampus. Jadilah aku yang diinterogasi (halah!). "Kok bisa sampe' segitu?" dia tanya dengan penuh pengertian. "Aku lho perasaan gak bentak mereka. Mereka aja yang nangkepnya salah." Tetap dengan cueknya aku njawab. "Ya tapi kan gak perlu sampe' bentak2 gitu kan. Mungkin aja kamu cuman negur atau gimana, tapi kan itu yang ada di pikiran kamu.

Apa yang keluar dari mulut kamu dan apa yang mereka tangkep belum tentu sama dengan yang kamu pikirkan." Masih dengan perhatiannya dia mengingatkanku.

DES... Sejenak otakku melambat, jantungku berhenti berdetak untuk beberapa detik (sok hiperbolis, jeh!). Aku berusaha memberi kesempatan otakku untuk mengingat dan memikirkan apa yang pagi itu terjadi. "Memang tadi aku agak emosi. Mungkin juga nada teguranku agak tinggi." Aku ngaku.

"Tuh kan... Makanya jangan terlalu kecapekan. Yo ngunu iku dadine." Kembali dia mengingatkanku. Memang dialah yang selama ini ngingetin aku, apapun itu.
"Iyo, aku salah."
***

Lah apa hubungannya dua cerita diatas dengan judulnya? Gak blas? Tangan lebih kotor dari kepala sebenarnya terinspirasi dari cerita yang pertama, waktu tadi sore sholat di masjid Al-Falah. Perbedaan tingkat kekotoran pada karpet berbeda di tangan dan kepala (kaki gak termasuk, soalnya waktu solat, liat kakinya cuman pas ruku') membuatku berpikir "Kok tangan lebih kotor dari kepala? Padahal nempelnya juga bareng toh?"

Aku membuat semacam pengandaian dari situ, tangan lebih kotor dari kepala. Bahwa apa yang dikerjakan oleh tangan (baca: kelakuan atau perbuatan) kita kadang lebih kotor (atau tidak sesuai dengan) apa yang ada di kepala kita. Misal cerita kedua itu tadi, aku mikirnya cuma negur, tapi apa yang keluar dari mulutku atau ekspresi wajahku mungkin tidak sesuai dengan apa yang aku pikirkan. Itu hanya contoh kecil dari pengandaian tangan lebih kotor dari kepala.

Banyak sih contoh2 kecil di sekeliling kita. Coba buka mata dan melihat disekitar. Berapa banyak orang yang melakukan kegiatan atau perbuatan yang menurutnya baik atau benar, namun ternyata merugikan orang lain.

Contoh lain, waktu di jalan raya karena butuh cepat, aku biasanya ngebut nyeleot2 diantara mobil2 dan tidak pernah mikirkan bagaimana perasaan para pengendara mobil.
Intinya, apa yang ada dipikiran kita awalnya, apa yang kita lakukan kemudian, dan apa yang dirasakan orang lain pada akhirnya kadang memang tidak selalu sesuai. Pikir dulu matang2 apa yang akan kita lakukan, atau gak ngapa2in sama sekali kalo pikiran kita lagi blank.

Hargai perasaan orang aja lah intinya, itu aja kok.